#442 On Cancer Within Your Ranks

For years, you climbed your way to long-sought power 
The price you’ve had to pay was steep indeed
And now, this cancer grows with rank devour
It reeks with stench of ever-present greed
The teacher now obeys the student’s way
This cancerous mass within your ranks holds sway

#426 On Curses

I curse you. 
I curse you for the smearing of our good names.
For your insinuations.
For your callous determination, to destroy our good works.
For your cowardice, in hiding behind the veil of power
to push us off the precipice.

I curse you, in this blessed month of Ramadan.

May your aims all go awry.
May your works crumble into ash.
May your evil doings find their way back to you,
transmuted into evils committed unto you.
May the miseries you inflict on others,
be heaped unto you in series a millionfold.

I curse you, and may God curse you too.

#424 Tentang Busuk Hati

Walau pangkatmu setinggi mana
Walau kuasamu menakluk buana
Walau darjatmu berpayung takhta
Walau masyhurmu semerbak bunga

Kalau jahat tetap terlihat
Kalau busuk pasti terciduk
Kalau bodoh terpamer sungguh
Selamanya tetap terkutuk.

#413 Tentang Rukunegara

Antara kenangan yang paling terkesan sewaktu mengimbau zaman persekolahan adalah pengucapan Rukunegara ketika perhimpunan sekolah: suatu ingatan yang kini tertinta sepia dalam rona yang tidak jauh bezanya dengan warna kulit buku latihan sekolah, yang pada waktu itu mengungkapkan Rukunegara pada kulit belakang setiap buku. Seolah ada keazaman yang sungguh pada waktu itu, untuk menukilkan kata dan semangat Rukunegara pada kotak fikir setiap anak kecil yang bersekolah di zaman itu.

Mungkin pada zaman awal 80-an itu, ingatan kepada tragedi Mei 1969 itu masih hangat di fikiran. “Never again”, “jangan pernah lagi”: begitu agaknya ikrar masyarakat umum pada waktu itu, yang enggan pulang kepada detik kehuruharaan dan saling berbunuhan yang mencorakkan era itu.

Kini, Rukunegara jarang-jarang sekali kita ketemui dalam kehidupan seharian. Tiada diucap, tiada disiar, seolah kenangan terhadap Rukunegara itu semakin malap, mungkin seiring juga dengan kenangan terhadap peristiwa 13 Mei itu sendiri, yang kini tinggal dalam lipatan sejarah dan ingatan seangkatan warga yang semakin meniti usia tua.

Mungkin akibat malapnya juga ingatan terhadap peristiwa sangkakala itulah, maka perasaan rasa kesopanan dan kesusilaan antara warga kita juga seolah makin terhakis tiap hari.

Setiap guris hati diperbesar dan diapikan menjadi pertikaian besar dan liar. Perkara asas yang mendasari masyarakat majmuk yang aman sentosa diamat dan dibongkar semula, dijadikan senjata untuk menjulang retorik dan cita-cita politik. Seolah negara ini sudah makin rapuh. Seolah warga Malaysia ini semuanya sudah bersedia dengan keris dan parang dan cemeti untuk menyembelih sesama sendiri.

Begitulah citra yang mungkin mahu diasah oleh segolongan mereka yang rajin berhunus di medan Facebook dan Twitter dan Instagram. Begitulah tampaknya cita-cita sesetengah puak yang merasakan bahawa cacimaki dan batuapi itu hanyalah jalan mudah untuk meraih sokongan, sewaktu merasakan diri semakin hilang di mata pengundi yang dahulunya setia mengikuti dan menjuarai mereka.

Malah dalam retorika awam secara umumnya, uratsendi perpaduan negara seolah semakin hari semakin dilapahmamah oleh semangat kepuakan dan kepongahan. Manakan tidak, apabila seolah-olah setiap baris Rukunegara itu semakin dihakis dan dihiris:

  • bila Perpaduan diambil ringan, dan kepentingan nasional dikesampingkan demi kepentingan puak bangsa dan agama yang sempit dan cetek;
  • bila Demokrasi dipandang sepi oleh segolongan yang dimomokkan dengan kepercayaan bahawa seolah-olah mengagungkan ajaran Tuhan itu bererti menolak hak warga dan insan untuk memilih cara hidup mereka sendiri dalam lingkungan perundangan yang sedia ada;
  • bila Keadilan diinjakpijak sehingga kebobrokan moral – rasuah, salahguna kuasa, perompakan harta rakyat – dihalalkan atas nama perpaduan dan kuasa;
  • bila perkataan “Liberal” itu dijadikan satu perkataan jijik yang diejek dan dimusuhkan di mimbar-mimbar masjid, seolah kononnya kehidupan liberal itu tiada beza dengan hedonisme dan perlakuan haram;
  • bila “Progresif” itu diejek seolah mahu menolak ajaran salaf yang sudah tentunya takrifannya dikawalkekang oleh segolongan yang berkepentingan.

Sepertimana jatuhnya empayar Islam di Sepanyol, sepertimana gugurnya kerajaan Melaka di tangan Portugis, sepertimana terkorbannya republik Weimar di tangan Hitler, setiap kejatuhan bangsa itu tidak akan berlaku melainkan dengan tangan-tangan bangsa itu sendiri, yang menikam diri ataupun hanya berdiamsepi.

Sudah tiba masanya warga kebanyakan menolak pengapian segolongan pemimpin palsu yang sanggup melemparkan ungkit dan nista demi kepentingan dan kelarisan politik. Sudah tiba masanya rakyat umum meletakkan garis pemisah bagi menentang mereka yang berani bermain api, berlakon sebagai pembela demi untuk menyula keamanan bangsa.

Sudah tiba masanya kita menghidupkan kembali Rukunegara yang sepatutnya mengikat kita dalam talian kesopanan dan kesusilaan yang mesra dan saksama.

#412 Tentang Marak Amarah

Obor marah dipalu gendang
Isu kecil diapi-api
Nama Allah dibuat dagang
Demi raih laba duniawi

Apa erti puasa Ramadan
Apa makna iman di hati
Jika zalim kau perlakukan
Jika asyik berbatuapi?

Hentikanlah marak amarah
Usah leka nafsu tergalak
Jauhilah sifat mazmumah
Jadi Muslim sebaik akhlak.

#407 On Brownshirt Tricks

You scream holy rage over socks and stews
With manufactured outrage to offend
“Defending God” as a young nation slews
Convulsed by demagogic discommend
With bloodshot eyes you rave and stamp your feet
With brownshirt tricks you thump your war-drum beat.

On Malaysia and the US-China Chip War

The FT recently did an in-depth writeup on the semiconductor industry in Malaysia, and how Malaysia stands to gain from the ongoing US-China “trade war” which is aiming to sever China from the US semiconductor and high-technology value chains – a “Silicon Wall” aimed at retarding the competitive threat that China poses towards the US.

Some of my reflections, upon reading this piece:

  1. The role of Malaysia as a mediating “Switzerland” shows the limitations of exclusionary policies as a means of staving off economic competition. There will always be interstitial spaces like Malaysia where supposedly-opaque trade barriers can be breached.
  2. Having said that, from a US trade perspective, perhaps slowing down the rate of Chinese technological advancement is enough, to buy time for the US to regroup and strengthen its alliances amidst China’s ongoing challenge.
  3. That Malaysia is playing this integrative role for US “friendshoring”, and Chinese attempts to circumvent the American “Silicon Wall”, is an interesting and timely reminder of the Archipelago’s long-time role as a meeting place and marketplace between East and West. Geography is very often destiny, especially in global politics, and Malaysia really should be embracing its role as a “mongrel state” opening itself up to the world.
  4. Following from this, it is crucial for the Malaysian political class to begin to find ways to step back from the zero-sum game of racial politics, and begin to embrace our longstanding nature as a salad bowl for trade and culture across the East and West. The more that US global domination frays, and the more that China emerges as a global counterbalance to the West, the important will it be for nations like Malaysia to find a new positioning amidst a shifting geopolitical landscape.
  5. For this to happen, Malay politics needs to break out of its self-victimhood. Enough with the constant begging for scraps off the table of Government. “Ketuanan” does not come in a begging bowl, and the fate of the Malays has always been, and always will be, tied with our ability to step confidently out into the world.